TarekatQadiriyah menekankan ajarannya pada zikir jahr nafy al-isbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model zikir sirr Ism atau zikir lathif. Dengan penggabungan itu, diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Pengalamansufi berupa tata cara zikir, tarekat Syaziliyah oleh Abu Hasan al Syazili (w. 1258 M), tarekat Naqsyabandiyah oleh Bahauddin al Naqsyabandi (w. 1389 M), tarekat Syattariah oleh Abdullah al Syattar (w. 1428 M), dan tarekat al Khalwatiyah dari Zahiruddin al Khalwati (w. 1397 M).
TataCara Dzikir Naqsyabandiyah Tarekat Naqsandiyah, seperti juga tarekat yang lainnya mempunyai tata cara ritual tersendiri, sebagai berikut: Husy dar dam , "sadar diwaktu bernafas" suatu latihan dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah.
Apalagisetalah tarekat ini berada di bawah kepemimpinan Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar (1404-1490 M.), maka hampir seluruh wilayah Asia Tengah "dikuasai" oleh Tarekat Naqsyabandiyah. [13] Tarekat Naqsyabandiyah mulai masuk ke India, diperkirakan mulai pada masa pemerintahan Babur pendiri kerajaan Mughal, (w. 1530 M.) di India. Karena masa
Ada2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat. Ø Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh
nKYfAJ4. Perlu kiranya mengetahui beberapa hal lagi tentang zikir menahan napas. Syekh Kalimullah Jahânâbâdi mengatakan bahwa dalam beberapa tarekat, menahan napas dipandang sebagai prinsip paling manjur untuk menghilangkan kemunafikan dalam jiwa. Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah, Kubnawiyyah, Syattâriyyah, dan Qadiriyyah menjadikannya sebagai syarat untuk menghilangkan kemunafikan dalam hati serta untuk kefanaan diri. Akan tetapi, para syaikh dalam Tarekat Naqsybandiyyah tidak memandangnya sebagai sebuah syarat apa pun. Namun, mereka tidak menafikan kemujarabannya. Bertolak belakang dengan mereka, para syaikh dalam Tarekat Suhrawardiyyah menganjurkan agar napas hendaknya jangan ditahan. Sebagai akibatnya, Syaikh Bâhâ’uddin Umar dan Syaikh Zaynuddin Khawafi, pendukung Tarekat Suhrawardiyyah, juga berpandangan serupa. Syekh Kalimullah menegaskan bahwa ada dua hal yang mesti dicamkan. Yang satu ialah menahan napas, dan yang lain adalah menghentikan napas habs al-nafs dan hashr al-nafs. Ada dua macam menahan napas mengosongkan dan mengisi. Yang dimaksud dengan mengosongkan takhalliyyah ialah menarik napas dalam lambung dan menarik pusar menuju punggung, dan menahan napas dalam dada, dan menurut sebagian orang dalam otak. Untuk mencegahnya, sebagian orang menutup lubang hidung, telinga dan mata mereka dengan jari-jemari. Hanya saja, ini tidak perlu. Konon, Khidhr menyuruh Syaikh Abdul-Khaliq Ghijduwâni untuk menenggelamkan diri dalam sebuah bak air dan mengamalkan yang demikian itu. Pengalaman para sufi ialah bahwa menahan napas banyak memberikan manfaat. Umpamanya saja, kemunafikan dalam jiwa bisa dihilangkan. Perasaan gembira dan bahkan ekstase bisa dialami. Yang dimaksud dengan “mengisi lambung” tamli’ah adalah bahwa napas mesti ditarik dan ditahan dengan menggelembungkan perut. Dalam keadaan seperti ini, pusar lantaran perut menggelembung terpisah dari punggung. Dengan mengosongkan perut napas, panas yang dibutuhkan dalam sulük pun meningkat, dan dengan mengisi, makanan pun bisa dicernakan. Menghentikan napas hashr an-nafs, sering kali dilakukan oleh para yogi, ialah memutuskan napas dari kedua sisi, yakni secara berangsur-angsur mengurangi panjangnya menghirup dan menghembuskan napas sampai napas ranar-benar berhenti. Tak pelak lagi bahwa tindakan ini menghasilkan panas dalam hati. Akan tetapi, panas yang dihasilkan dengan menahan napas jauh lebih besar ketimbang yang dihasilkan dengan menghentikan napas. Bisa diperhatikan bahwa tujuan menahan napas dalam zikir dua dari empat dharb dan zikir Haddadi serta yang lainnya ialah menghasilkan panas dalam hati sang hamba. Pada gilIrannya, ini menimbulkan semangat dan menyiapkan dirinya untuk mencintai Allah. Zikir ini juga mengipasi api cinta serta mengembangkan kemabukan spiritual dan kegembiraan bergejolak dalam diri sang hamba. Selama periode ini, sang hamba diperintahkan untuk menjauhi makanan-makanan yang banyak mengandung kelembaban. Demikian juga, ia tidak boleh memakan makanan yang asam atau pedas. Ketika napas di hembuskan sesudah ditahan, maka napas itu mestilah dihembuskan pelan-pelan melalui hidung dan jangan melalui mulut. Jika tidak demikian, maka yang demikian itu sangat berbahaya. Lagi-lagi, zikir ini jangan dilakukan ketika perut sedang penuh terisi makanan, atau ketika seseorang itu lapar. Menahan napas dengan segenap tindakan pencegahan ini diperlukan di awal suluk. Akan tetapi, ketika sang hamba mencapai kesempurnaan, ia boleh mengamalkannya atau tidak sama sekali. Syekh Kalimullah menyatakan bahwa kaum Sufi mempelajari praktik ini dari para pertapa Hindu. Para Sufi terkemuka juga berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan inderawi, dan wujud batiniahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlah sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan adanya hubungan ini, hati sang hamba pun tercerahkan, dan ia pun melihat Zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah. Zikir juga memungkinkan sang hamba melihat berbagai ragam cahaya. Warna berbagai cahaya ini terkadang putih, terkadang hijau, dan kadang-kadang merah. Akhirnya, muncul warna hitam, yang disebut “cahaya kebingungan dan “cahaya zat”. Cahaya yang terlihat dekat dengan bahu kanan dipandang sebagai cahaya malaikat pencatat sebelah kanan. Jika ini terputus, maka yang demikian ini dipandang sebagai cahaya syaikh, dan jika muncul di hadapan sang dzakir, maka hal itu dipandang sebagai cahaya Nabi Muhammad. Begitu juga, jika ia muncul dekat dengan bahu sebelah kiri, maka yang demikian adalah cahaya malaikat pencatat di sebelah kiri; dan jika terputus, maka hal itu dipandang sebagai tipu daya setan. Sama halnya, jika ada suatu bentuk muncul di sisi sebelah kiri, maka hal itu juga dipandang sebagai tipudaya setan. Jika cahaya itu muncul dari belakang dan atas kepala, maka hal itu dipandang sebagai cahaya malaikat-malaikat penjaga. Jika cahaya itu muncul tanpa arah, dan sang dzâkir ketakutan olehnya, dan tidak dirasakan adanya kehadIran Allah sesudah cahaya itu lenyap, maka yang demikian itu juga harus dipandang sebagai tipu daya setan. Jika kehadIran Allah dirasakan ketika cahaya itu muncul dan timbul perasaan berpisah dan rindu kepada Allah sesudah cahaya itu lenyap, maka ia mesti memahami bahwa itulah cahaya Zat Mahabenar yang dicari. Jika cahaya itu muncul di dada, dan di atas pusar, maka lagi-lagi yang demikian ini dipandang sebagai tipuan setan. Jika cahaya muncul dalam hati, maka hal itu dipandang sebagai cahaya yang dihasilkan dengan menyucikan hati. Akan tetapi, sang pencari sejati Allah semestinya tidak perlu memperhatikan cahaya-cahaya ini, juga tidak boleh merasa puas dengannya, sebab kesemuanya itu bukanlah tujuan yang ingin diraihnya. Penghambaan sang pencari Allah yang menimbulkan cahaya dipandang sebagai yang paling aman, dan ia bisa berharap lebih jauh untuk mencapainya. Sumber
Tarekat Naqsandiyah, seperti juga tarekat yang lainnya mempunyai tata cara ritual tersendiri, sebagai berikut Husy dar dam, “sadar diwaktu bernafas” suatu latihan dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah. Hal ini dikarenaka setiap keluar masuk nafas yang hadir beserta Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. karena kalau orang lupa dan kurang perhatian berarti kematian spiritual dan mengakibatkan orang akan jauh dari Allah. Nadzar bar qadam, “menjaga langkah” seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk , bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki. Dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang kepada keaneka ragaman ukiran dan warna dapat melalaikan orang lain dari mengingat Allah, selain itu juga supaya tujuan-tujuan yang rohaninya tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada di sekelilingnya yang tidak relevan. Safar dar wathan, “ melakukan perjalanannya di tanah kelahiran”, maknanya adalah melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akibat hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. Atau maknanya adalah berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji. Khalwat dar anjuman,” sepi di tengah keramaian”, khalwat bermakna menyepinya seorang murid, sementara anjumandapat berarti perkumpulan tertentu. Berkhalwat terbagi menjadi dua bagian, yaitu a. Khalwat lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat tersisih dari masyarakat. b. Khalwat batin, yaitu mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesame makhluk. Yad krad,”ingat atau menyebut” ialah berdzikir terus-menerus mengingat Allah, baik zikir ism al-dzat menyebut Allah, maupun dzikir naïf itsbat menyebut La ila>ha Illa> Allah. bagi kaum Naqsabandiyah zikir itu tidak terbatas dilakukan secara berjamaah ataupun sendirian sesudah shalat, tetapi terus-menerus supaya di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. Ba>z Ghust, “kembali “, memperbaharui”. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang. Sesudah menghela nafas, orang yang berzikir itu kembali bermunajat dengan mengucapkan kalimat yang mulia ilahi> anta maqshudi> wa ridhaka mathlubi>. ya tuhanku, engkaulah tempatku memohon dan keridhaanMu lah yang ku harapkan. Sewaktu mengucapkan zikir, makna dari kalimat ini harus selalu berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada Allah semata. Niga>h Dasyt,” waspada”. Ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran, dan perasaan dari sesuatu walapun sekejap seketika melakukan zikir tauhid. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dari perilaku agar sesuai dengan makna dzikir tersebut. Ya>d dasyt,”mengingat kembali” adalah tawajuh menghadapkan diri kepada nur dzat Allah, tanpa kata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat Allah tiada lurus, kecuali sesudah Jana>’ hilang kesadaran yang sempurna. Tampaknya hal ini semula dikaitkan pada pengalaman langsung kesatuan dengan yang ada wahdat al-wujud . Dzikir Titik berat amalan penganut Tarekat Naqsandiyah adalah zikir. Zikir adalah berulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan kalimat La ila>ha Illa> Allah dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah. para penganut Naqsabandiyah lebih sering melakukan zikir sendiri, tetapi bagi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan dengan syaikh cenderung iktu serta secara teratur dalam pertemuan dimana majlis zikir dilakukan. Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir, yaitu Zikir Ism al-dzat, artinya mengingat nama yang Haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali sambil memusatkan perhatian kepada Allah. Zikir tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimat La ila>ha Illa> Allah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan garis memalui tubuh. Caranya, pertama bunyi La> digambar dari daerah pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun, kedua. Bunyi ila>ha turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu kanan, ketiga, kata berikutnya illa> dimulai dan turun melewati bidang dada sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata terakhir Allah dihujamkan sekuat tenaga. Orang yang sedang berzikir membayangkan jantung itu berdenyutkan nama Allah, dan memusnahkan segala kotoran. Sebagian ulama menyatakan bahwa zikir anggota tubuh jawarih adalah Zikir mata dengan menangis Zikir telingan dengan mendengar yang baik-baik Zikir lidah dengan memuji Allah Zikir tangan dengan member sedekah Zikir badan dengan menunaikan kewajiban Zikir hati dengan takut dan mengharap Zikir roh dengan penyerahan diri kepada Allah Terdapat 7 tingkatan zikir dalam Tarekat Naqsabandiyah Mukasyafah, mula-mula zikir dengan menyebut Nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari semalam. Setelah melaporkan perasaan selama berzikir, maka syaikh menaikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari semalam. Latha>if, setelah melaporkan perasaan yang dialami dalam berzikir itu, maka atas penilikan syaikh, dinaikkan zikirnya menjadi 7000. Dan demikianlah seterusnya menjadi 8000, 9000, kali sehari semalam. Zikir tersebut dinamakan latha>if sebagai maqam kedua. Maqam lathi>fah-lathi>fah juga terbagi menjadi 7 macam, yaitu Lathi>fah al-Qalbi>, zikir sebanyak 5000 kali ditempatkan dibawah dada sebelah kiri dan kurang lebih dua jari dari rusuk. Lathi>fah al-Ru>h}, zikir sebanyak 1000 kali di bawah dada kanan, kurang lebih dua jari ke arah dada. Lathi>fah al-Sirr 1000 kali dua jari diatas dada Lathi>fah al-Khofi 1000 kali diatas dada kanan Lathi>fah al-Akhfa 1000 kali di tengah-tengah dada Lathi>fah al-Nafsi al-Nathiqah 1000 kali diatas kening Lathi>fah al-Kull al-Jasad 1000 kali diseluruh tubuh 3. Nafi Itsbat, kali dengan membaca La ila>ha Illa> Allah 4. Wuquf qalbi 5. Ahadiah 6. Ma’iah 7. Tahlil
Pendirian Tarekat Naqsyabandiyah dinisbatkan kepada wali quthub bernama Muhammad Bahauddin bin Muhammad bin Muhammad al-Syarif al-Husaini al-Hasani al-Uwaissi al-Bukhari. Ia lebih dikenal dengan sebutan Syaikh an-Naqsyabandi, Tanwir al-Qulub, halaman 501. Tarekat ini disebut dengan Naqsyabandiyah, karena dinisbatkan pada Naqsya Bandi نَقْشَ بَنْدِ yang artinya sambungan pahatan. an-Naqsy النَّقْشُ adalah sebentuk cap stempel yang dicapkan pada malam sejenis lilin dan sebagainya. Rabitahnya sambungannya adalah tetapnya Naqsyabandi yang tidak lebur, maksudnya Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsyabandi itu selalu berzikir dengan hatinya sampai terukir dan tampak lafadz Allah Swt di luar hatinya, karena itulah tarekat ini disebut dengan Naqsyabandiyah. Dikisahkan dari beberapa khalifah mursyid an-Naqsyabandiyah yang berkata “Sungguh Rasulullah SAW. telah meletakkan telapak tangan mulia beliau di atas hati al-Syaikh Bahauddin an-Naqsyabandi ketika sedang muraqabah, sehingga terbentuklah ukiran di atas hatinya”, Tanwîr al-Qulûb, halaman 539. Biografi Syaikh Baha’uddin Al-Naqsyabandi Syaikh an-Naqsyabandi berguru ilmu tarekat kepada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi kemudian kepada Sayyid Amir Kulal, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman 196. Sedangkan Sayyid Amir Kula juga berguru kepada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi berguru kepada Ali al-ramitani yang lebih dikenal dengan nama Syaikh al-Azizan. Syaikh al-Azizan berguru kepada Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi, Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi berguru kepada Syaikh Arif al-Riwikri yang berguru kepada Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang berguru kepada Syaikh Abi Ya’qub Yusuf al-Hamadani yang berguru kepada Syaikh Abi Ali al-Fadhal bin Muhammad ath-Thusi al-Faramadi yang berguru kepada Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Ja’far al-Kharqani. Syaikh Abil Hasan Ali berguru kepada Abi Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami yang berguru kepada Syaikh Imam Ja’far al-Shâdiq yang berguru kepada kakeknya Sayyid al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq yang dari Salman al-Farisi yang memperoleh dari Abi Bakar ash-Shiddiq yang memperoleh dari Rasulullah Saw Tanwir al-Qulub, halaman 502. Syaikh an-Naqsyabandi lahir di desa Qasrul Arifan di dekat Bukhara Uzbekistan pada bulan Muharam tahun 717 H. Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman 11. Sebelum beliau dilahirkan, gurunya, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, telah mengisyaratkan akan kelahirannya. Setiap kali Syaikh as-Sammasi melewati desa Qasrul Arifan, selalu berkata kepada para muridnya, “Dari desa ini aku mencium bau seorang wali”. Setelah bayi yang dimaksud dilahirkan dan berusia tiga hari, Syaikh as-Sammasi melewati desa itu seperti biasa. Lalu kembali berkata pada para muridnya, “Bau seorang wali yang telah aku ceritakan, sekarang ini semakin semerbak”. Tak lama setelah itu, si bayi oleh kakeknya dibawa ke rumah Syaikh as-Sammasi. Ketika melihat bayi tersebut, Syaikh as-Sammasi spontan berteriak gembira seraya menoleh kepada muridnya, “Ini anakku. Inilah wali yang selama ini aku cium baunya. Insya Allah tidak lama lagi ia akan menjadi panutan banyak orang”. Kemudian Syaikh as-Sammasi menemui Sayyid Amir Kulal untuk menyerahkan pendidikan anaknya itu. Ketika itu Syaikh as-Sammasi berkata, “Ini anakku”. Didiklah dengan sebaik-baiknya, jangan sampai engkau teledor dalam mendidiknya. Jika Engkau teledor, aku tak akan rela untuk selama-lamanya”. Lalu Sayyid Amir Kulal berdiri dan berkata, “Aku akan melaksanakan perintahmu. Insya Allah aku tidak akan teledor dalam mendidiknya”, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman 207. Syaikh an-Naqsyabandi mengisahkan, “Kakekku mengirimku ke desa Sammas dengan tujuan supaya aku mengabdi kepada Syaikh as-Sammasi. Ketika aku berhasil menemuinya, sebelum waktu Maghrib tiba aku telah mendapatkan keberkahannya sehingga aku merasakan ketenangan pada diriku, kekhusyu’an, tadharru’ serta kembali kepada Allah Swt.”, Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman 12-13. Lebih lanjut Syaikh an-Naqsyabandi berkata, “Ketika Syaikh as-Sammasi meninggal dunia, kakekku membawaku ke Samarqandi. Setiap kali mendengar ada orang shaleh, ia membawaku kepadanya. Kepada orang shaleh yang dikunjungi, ia memintakan doa untukku, ternyata permintaan doa betul-betul terkabul, aku mendapatkan keberkahan dari orang-orang shaleh tersebut”. Syaikh an-Naqsyabandi juga berkata, “Di antara pertolongan Allah SWT. yang diberikan kepadaku adalah kopiah kakek guruku Syaikh al-Azizan telah sampai kepadaku sehingga keadaanku semakin baik dan harapanku semakin kuat, yang demikian itu membuatku dapat mengabdi kepada Sayyid Amir Kulal dan memberi tahuku bahwa Syaikh as-Sammasi mewasiatkan diriku kepadanya”, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman 196. Semakin hari Sayyid Amir Kulal semakin memperhatikan dan bersungguh-sungguh dalam membimbingnya. Setelah bekal bimbingan yang diberikan dirasa sudah cukup, Sayyid Amir Kulal berkata, “Wahai anakku, aku telah melaksanakan wasiat Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi untuk membimbingmu”. Seraya menunjuk ke arah susunya, Sayyid Amir Kulal berkata, “Engkau telah menyusu pendidikan padaku. Tingkat penyerapanmu terhadap apa yang aku ajarkan sangat tinggi dan keyakinanmu sangat kuat. Oleh karena itu, aku mengizinkan engkau mencari ilmu ke beberapa guru, engkau dapat mengambil ilmu dari mereka sesuai dengan kemauanmu yang besar”, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman 198. Sejak saat itu, aku terus-menerus mendatangi ulama’ untuk memetik ilmu syariat dan mencari ilmu Hadis serta akhlak Rasulullah Saw dan para sahabat sebagaimana telah diperintahkan padaku. papar Syaikh an-Naqsyabandi. Di antara akhlak Syaikh an-Naqsyabandi adalah apabila menjenguk salah seorang temannya, pasti akan menanyakan kabar keluarga dan anak-anaknya serta menghiburya dengan hiburan yang sepantasnya. Bukan hanya itu saja, Syaikh an-Naqsyabandi juga menanyakan apa yang berhubungan dengannya sampai bertanya tentang ayam-ayam peliharaannya. Ditampakkannya rasa belas kasihan kepada semuanya seraya berkata, “Abu Yazid al-Busthami sekembalinya dari larut berzikir, melakukan hal seperti ini”. Meski sangat sempurna dalam kezuhudannya, Syaikh an-Naqsyabandi senantiasa memberi dan mendahulukan orang lain. Bila ada orang memberinya, diterimanya. Lalu membalasnya dengan pemberian yang berlipat ganda. Demikian itu karena Syaikh an-Naqsyabandi mengikuti jejak Rasulullah Saw yang sangat terkenal kedermawanannya. Keberkahan akhlaknya yang mulia ini menular kepada murid muridnya, Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman 20-21. Di antara karamahnya adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syaikh Alauddin al-Aththar. Suatu ketika Syaikh Ala’uddin al-Aththar bersama dengan Syaikh an-Naqsyabandi, ketika itu udara diliputi oleh mendung, lalu Syaikh an-Naqsyabandi bertanya, “Apa waktu dzuhur sudah masuk?” Syaikh Ala’uddin al-Aththar menjawab, “Belum”, lalu Syaikh an-Naqsyabandi berkata, “Keluarlah dan lihatlah langit”. Lalu Syaikh Ala’uddin al-Aththar keluar dan melihat ke atas langit, tiba-tiba tersingkaplah hijab alam langit sehingga Syaikh Alauddin al-Aththar dapat melihat seluruh malaikat di langit tengah melaksanakan shalat Dhuhur, lalu Syaikh Ala’uddin al-Aththar masuk dan langsung ditanya oleh Syaikh an-Naqsyabandi, “Bagaimana pendapatmu, bukankah waktu dhuhur tiba?” Syaikh Ala’uddin al-Aththar malu dibuatnya dan membaca istighfar dan sampai beberapa hari merasa masih terbebani dengan kejadian tersebut, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman 201. Syaikh Alauddin al-Aththar berkata “Ketika Syaikh an-Naqsyabandi akan meninggal, aku dan yang hadir pada saat itu membaca Surat Yasin, ketika bacaan Surat Yasin sampai di tengah-tengah, tiba-tiba tampak seberkas cahaya terang yang menyinari seisi ruangan, maka aku membaca kalimat Lâ Ilâha IllAllah, lalu Syaikh an-Naqsyabandi wafat”. Syaikh an-Naqsyabandi wafat pada malam Senin tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H. Kemudian dimakamkan di kebun miliknya yang memang sudah ditentukan oleh Syaikh an-Naqsyabandi sendiri. Para pengikutnya membangun kubah di atas makamnya dan di kebunnya dibangun masjid yang luas, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman 205. SI Sumber
Views 2,224 ADAB-ADAB TA’ZIYAH BELA SUNGKAWA, SHALAT JENAZAH DAN TATA CARA PENGUBURANNYA Oleh Syaikh Abdul Hamid bin Abdirrahman as-Suhaibani Dianjurkan untuk ta’ziyah1[2] terhadap keluarga yang tertimpa musibah kematian. Lafazh ta’ziyah yang paling utama yang berasal dari Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam اِصْبِرْ وَاحْتَسِبْ فَإِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مَسَمًّى. “Bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah, sesungguhnya adalah hak Allah mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][3] Tidak selayaknya berta’ziyah dengan ucapan turut berduka cita di koran, surat kabar, majalah dan media informasi lainnya. Hal itu tidak pantas karena termasuk pemberitahuan kematian yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena maksud dari ta’ziyah tersebut untuk menyebarkan, mempublikasikan dan mengumumkan kematiannya.[4]Diperbolehkan untuk melakukan safar dalam rangka untuk ta’ziyah bagi orang yang sangat dekat hubungannya dengan si mayit, ditambah apabila dia tidak pergi untuk berta’ziyah akan dianggap memutuskan mengapa mengabarkan kepada khalayak ramai bahwa seseorang telah meninggal dan akan dishalatkan di tempat tertentu. Hal ini sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan kematian an-Najasy Raja Najasyi dan beliau memerintahkan para Sahabatnya supaya keluar ke tanah lapang kemudian mereka disyari’atkan mengucapkan doa istiftah pada shalat jenazah karena shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan atas dasar sifat yang ringkas dan cepat sehingga shalat tersebut tidak ada do’a salah seorang keluarga terdekat mayit mengetahui bahwa si mayit tidak shalat maka tidak boleh meminta kaum Muslimin untuk menyalatkannya karena ia telah memberikan orang kafir kepada kaum Muslimin untuk dishalatkan. Di samping itu shalat yang dilakukan kaum Muslimin tidak akan bermanfaat bagi mayit tersebut. Dan juga tidak boleh menguburkan mayit tersebut di pekuburan kaum seorang perempuan atas mayit di dalam rumahnya itu lebih baik daripada menyalatkannya di masjid, jika ia termasuk salah satu anggota keluarga mayyit tersebut. Namun tidak mengapa apabila ia keluar rumah dan menyalatkannya bersama kaum untuk menyegerakan mengurus mayit berdasarkan hadits أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ لَهُ فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا، وَإِنْ تَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ. “Bersegeralah dalam mengurus jenazah, karena jika ia baik maka engkau telah melakukan suatu kebaikan dan jika tidak, maka engkau telah membuang suatu kejelekan dari lehermu.” [HR. Al-Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944 50] Tidak sepatutnya menunda-nunda dalam mengurus jenazah hanya dengan alasan agar sebagian anggota keluarga dapat menghadiri pemakaman si mayit, kecuali jika hanya sebentar. Apabila keluarganya datang terlambat setelah dikubur maka boleh menyalatkannya di kuburannya. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika menyalatkan seorang wanita yang biasa membersihkan masjid Nabi di kuburannya, dimana beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak diberi tahu tentang kematian wanita tersebut, maka beliau berkata kepada para Sahabatnya دُلُّوْنِيْ عَلَى قَبْرِهَا، فَدَّلُوْهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا. “Tunjukkan padaku makamnya.’ Lalu mereka menunjukkannya kemudian beliau menyalatkannya di kuburannya.” [HR. Al-Bukhari no. 458 dan Muslim Bukan termasuk Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan bukan pula termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin melakukan do’a berjama’ah di sisi kuburan yang dipimpin oleh satu orang dan diaminkan banyak orang. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengantar jenazah untuk memintakan ampunan bagi mayyit dan memohon baginya keteguhan dan hal tersebut dilakukan sendiri-sendiri bukan secara dengan dasar kesepakatan para ulama untuk menutup jenazah perempuan dengan mantel atau kain yang tebal ketika menurunkannya ke liang lahat supaya tidak terlihat orang, karena bisa jadi apabila tidak memakai mantel atau kain penutup ketika menurunkan ke liang lahat, kain kafannya lepas sehingga auratnya dapat disyari’atkan untuk mengkhususkan berpakaian tertentu ketika berta’ziyah seperti mengkhususkan warna hitam, bahkan ini termasuk perbuatan bid’ah dan terkadang hal tersebut dapat menyebabkan manusia tidak rela terhadap apa yang telah ditakdirkan diperbolehkan berta’ziyah kepada ahlul Kitab Yahudi dan Nasrani atau orang kafir lainnya ketika ada keluarga mereka yang meninggal, tidak boleh menghadiri jenazahnya maupun mengiringinya ke untuk menerima ta’ziyah dari ahlul Kitab Nasrani dan Yahudi atau orang kafir lainnya ketika seorang muslim meninggal dunia dan mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah. Lihat Fataawaa at-Ta’ziyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. [Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis Abdul Hamid bin Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M] Catatan kaki [1]. Definisi ta’ziyah adalah menyuruh bersabar, membuat keluarga mayit terhibur dan bersabar dengan sesuatu yang bisa meringankan musibah yang mereka alami dan mengurangi kesedihan mereka. [Lihat Minhaajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi, hal. 305]-penj. [2]. Sebagaimana hadits مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّيْ أَخَاهُ بِمُصِيْبَةٍ إِلاَّ كَسَاهُ اللهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. “Tidaklah seorang mukmin berbelasungkawa ta’ziyah kepada saudaranya karena suatu musibah, melainkan Allah Yang Mahasuci memberinya pakaian dari pakaian-pakaian kemuliaan di hari Kiamat.” [HR. Ibnu Majah no. 1601, hasan. Lihat Shahiih Ibni Maajah no. 1601] [3]. Lafazh yang ada dalam riwayat al-Bukhari adalah إِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ. “Sesungguhnya adalah hak Allah untuk mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan, oleh karena itu bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah dengan sebab musibah itu.” [HR. Al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923]-penj. [4]. Memberitahukan kematian seseorang di koran-koran setelah wafatnya mayit serta melakukan ta’ziyah di dalamnya ini termasuk na’yu pemberitahuan yang dilarang. Berbeda dengan na’yu sebelum si mayit dishalatkan ia meminta agar dishalatkan oleh orang banyak, maka hal itu tidak mengapa sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan kematian Raja Najasy dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh para sahabatnya supaya keluar ke tanah lapang untuk shalat ghaib. Adapun setelah mayit dikubur tidak perlu lagi dikabarkan tentang kematiannya karena urusannya sudah selesai. Maka memberitahukannya di koran-koran termasuk na’yu yang dilarang. Lihat Fatwa at-Ta’ziyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin no. [Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis Abdul Hamid bin Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Ustadz Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
Tarekat Naqsandiyah, seperti juga tarekat yang lainnya mempunyai tata cara ritual tersendiri, sebagai berikut 1. Husy dar dam , “sadar diwaktu bernafas” suatu latihan dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah. Hal ini dikeranakan setiap keluar masuk nafas yang hadir beserta Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. karena kalau orang lupa dan kurang perhatian berarti kematian spiritual dan mengakibatkan orang akan jauh dari Allah. 2. Nazar bar qadam, “menjaga langkah” seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk , bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang kepada keaneka ragaman ukiran dan warna dapat melalaikan orang lain dari mengingat Allah, selain itu juga supaya tujuan-tujuan yang rohaninya tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada di sekelilingnya yang tidak relevan. 3. Safar dar wathan , “ melakukan perjalanannya di tanah kelahiran”, maknanya adalah melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akibat hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. Atau maknanya adalah berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji. 4. Khalwat dar anjuman,” sepi di tengah keramaian”, khalwat bermakna menyepinya seorang murid, sementara anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Berkhalwat terbagi menjadi dua bagian, yaitu a. Khalwat lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat tersisih dari masyarakat. b. Khalwat batin, yaitu mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesame makhluk. 5. Yad krad, ”ingat atau menyebut” ialah berzikir terus-menerus mengingat Allah, baik zikir ism al-zat menyebut Allah, maupun zikir naïf itsbat menyebut La ilaha Illa Allah . bagi kaum Naqsabandiyah zikir itu tidak terbatas dilakukan secara berjamaah ataupun sendirian sesudah shalat, tetapi terus-menerus supaya di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. 6. Baz Ghust, “ kembali “, memperbaharui”. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang. Sesudah menghela nafas, orang yang berzikir itu kembali bermunajat dengan mengucapkan kalimat yang mulia ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi. ya tuhanku, engkaulah tempatku memohon dan keridhaanMu lah yang ku harapkan. Sewaktu mengucapkan zikir, makna dari kalimat ini harus selalu berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada Allah semata. 7. Nigah Dasyt, ” waspada”. Ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran, dan perasaan dari sesuatu walapun sekejap seketika melakukan zikir tauhid. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dari perilaku agar sesuai dengan makna zikir tersebut. 8. Yad dasyt, ”mengingat kembali” adalah tawajuh menghadapkan diri kepada nur zat Allah, tanpa kata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur zat Allah tiada lurus, kecuali sesudah Jana’ hilang kesadaran yang sempurna. Tampaknya hal ini semula dikaitkan pada pengalaman langsung kesatuan dengan yang ada wahdat al-wujud . zikir. Titik berat amalan penganut Tarekat Naqsandiyah adalah zikir. Zikir adalah berulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan kalimat La ilaha Illa Allah dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah. para penganut Naqsabandiyah lebih sering melakukan zikir sendiri, tetapi bagi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan dengan syaikh cenderung iktu serta secara teratur dalam pertemuan dimana majlis zikir dilakukan. Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir, yaitu 1. Zikir Ism al-zat, artinya mengingat nama yang Haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali sambil memusatkan perhatian kepada Allah. 2. Zikir tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimat La ilaha Illa Allah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan garis memalui tubuh. Caranya, pertama bunyi La digambar dari daerah pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun, kedua. Bunyi ilaha turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu kanan, ketiga, kata berikutnya illa > dimulai dan turun melewati bidang dada sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata terakhir Allah dihujamkan sekuat tenaga. Orang yang sedang berzikir membayangkan jantung itu berdenyutkan nama Allah, dan memusnahkan segala kotoran. Sebagian ulama menyatakan bahwa zikir anggota tubuh jawarih adalah 1. Zikir mata dengan menangis 2. Zikir telingan dengan mendengar yang baik-baik 3. Zikir lidah dengan memuji Allah 4. Zikir tangan dengan member sedekah 5. Zikir badan dengan menunaikan kewajiban 6. Zikir hati dengan takut dan mengharap 7. Zikir roh dengan penyerahan diri kepada Allah Terdapat 7 tingkatan zikir dalam Tarekat Naqsabandiyah 1. Mukasyafah, mula-mula zikir dengan menyebut Nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari semalam. Setelah melaporkan perasaan selama berzikir, maka syaikh menaikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari semalam. 2. Lathaif, setelah melaporkan perasaan yang dialami dalam berzikir itu, maka atas penilikan syaikh, dinaikkan zikirnya menjadi 7000. Dan demikianlah seterusnya menjadi 8000, 9000, 10,000 kali sehari semalam. Zikir tersebut dinamakan lathaif sebagai maqam kedua. Maqam lathifah-lathifah juga terbagi menjadi 7 macam, yaitu a. Lathifah al-Qalbi , zikir sebanyak 5000 kali ditempatkan dibawah dada sebelah kiri dan kurang lebih dua jari dari rusuk. b. Lathifah al-Ruh, zikir sebanyak 1000 kali di bawah dada kanan, kurang lebih dua jari ke arah dada. c. Lathifah al-Sirr 1000 kali dua jari diatas dada d. Lathifah al-Khofi 1000 kali diatas dada kanan e. Lathifah al-Akhfa 1000 kali di tengah-tengah dada f. Lathifah al-Nafsi al-Nathiqah 1000 kali diatas kening g. Lathifah al-Kull al-Jasad 1000 kali diseluruh tubuh 3. Nafi Itsbat, 11,000 kali dengan membaca La ilaha Illa Allah 4. Wuquf qalbi 5. Ahadiah 6. Ma’iah 7. Tahlil
tata cara zikir tarekat naqsyabandiyah